Pendaki Gunung |
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar:9).
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (Az-Zumar:9).
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman : “Adakah orang yang mengetahui
bahwasanya apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu benar sama
dengan orang yang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang
dapat mengambil pelajaran.” (Ar-Ra’d:19).
01. Shalat Istikharah.
Melakukan shalat istikharah terlebih dahulu untuk memohon petunjuk
kepada Allah mengenai waktu safar, kendaraan yang digunakan, teman
perjalanan dan arah jalan. Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُعَلِّمُ أَصْحَابَهُ
الاِسْتِخَارَةَ فِى الأُمُورِ كُلِّهَا، كَمَا يُعَلِّمُ السُّورَةَ مِنَ
الْقُرْآنِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengajari para
sahabatnya shalat istikhoroh dalam setiap urusan. Beliau mengajari
shalat ini sebagaimana beliau mengajari surat dari Al Qur’an.” [HR.
Bukhari no. 7390]
02. Bermusyawarah dengan keluarga atau orang yang berilmu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:
وَأَمْرُهُمْ شُورَى بَيْنَهُمْ
“Dan perkara mereka dimusyawarahkan di antara mereka.” (Asy-Syura: 38)
Yaitu mereka memusyawarahkan permasalahan di antara mereka, tidak
bersikap terburu-buru/tergesa-gesa, dan mereka tidak menuruti pendapat
mereka sendiri.
Adalah kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengajak musyawarah para sahabatnya dalam urusan-urusan beliau
dan Allah Subhanahu wa Ta’ala perintahkan hal ini kepada beliau dalam
firman-Nya:
وَشَاوِرْهُمْ فِي اْلأَمْرِ
“Dan ajaklah mereka musyawarah dalam urusan-urusan yang ada.” [Fathul Qadir, 4/642].
03. Meminta izin kepada orangtua.
Seseorang datang kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam meminta izin
untuk pergi Jihad, maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bertanya
kepadanya, “Apakah kedua ibu bapakmu masih hidup?”
Laki-laki itu menjawab, “Ya.”
Maka Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tinggallah dengan kedua orangtuamu, maka itulah Jihadmu.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits di atas dijadikan dalil
haramnya safar tanpa izin orangtua. Karena menakala Jihad dilarang,
padahal keutamaannya sangat agung, maka safar yang mubah tentu lebih
dilarang…” [Fathul Bari, VI/174].
04. Mencukupi bekal dan harta dengan baik, baik untuk orang yang safar maupun keluarga yang ditinggalkan.
Allah Ta’ala berfirman, “…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” [QS Al-Baqarah: 195].
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidak boleh
memudharatkan diri sendiri dan memudharatkan orang lain.” [HR Malik
II/745].
05. Pergi dengan harta yang halal.
Rasulullah menyebutkan seseorang yang mengadakan perjalanan jauh,
rambutnya kusut dan berdebu, ia mengangkat kedua tangannya ke arah
langit sambil mengatakan: “Ya rabb, ya rabb, sementara makanannya haram,
minumannya haram, pakaiannya juga haram, bahkan diberi dari yang
haram-haram, maka (beliau berkata:) mana mungkin akan dikabulkan
keinginannya.” [HR. Muslim bab Qubulus Shadaqah minal Kasbit-Thayyib no.
1015].
06. Berwasiat atau menulis wasiat untuk kerabatnya.
Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah layak bagi orang muslim
yang mempunyai sesuatu yang hendak diwasiatkan selagi masih hidup
selama dua malam, melainkan wasiatnya harus sudah ditulis di sisinya.”
[Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim].
Ibnu Umar berkata, “Semenjak kudengar sabda beliau ini, tidak pernah
lewat satu malam pun, melainkan aku sudah mempunyai wasiat.”
07. Melakukan perjalanan bersama 3 orang atau lebih.
Sebagaimana hadits,
الرَّاكِبُ شَيْطَانٌ وَالرَّاكِبَانِ شَيْطَانَانِ وَالثَّلاَثَةُ رَكْبٌ
“Satu pengendara (musafir) adalah syaithan, dua pengendara (musafir)
adalah dua syaithan, dan tiga pengendara (musafir) itu baru disebut
rombongan musafir.” [HR. Abu Daud no. 2607, At Tirmidzi no. 1674 dan
Ahmad 2/186.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan
sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62].
Yang dimaksud dengan syaithan di sini adalah jika kurang dari tiga
orang, musafir tersebut sukanya membelot dan tidak taat.[Lihat Fathul
Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul Ma’rifah, 1379, 6/53 dan penjelasan
Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 62].
Namun larangan di sini bukanlah haram (tetapi makruh) karena
larangannya berlaku pada masalah adab.[Lihat perkataan Ath Thobari yang
dibawakan oleh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari, 6/53].
08. Mencari orang atau teman-teman seperjalanan yang shalih.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِيْنِ خَلِيْلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِل
“Seseorang itu tergantung kepada kepribadian teman dekatnya, maka
hendaklah salah seorang diantara kalian melihat siapa yang dijadikan
teman karibnya.” [HR. At-Tirmidzi].
09. Memilih atau mengangkat pemimpin rombongan.
Adapun perintah untuk mengangkat pemimpin ketika safar adalah,
إِذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِى سَفَرٍ فَلْيُؤَمِّرُوا أَحَدَهُمْ
“Jika ada tiga orang keluar untuk bersafar, maka hendaklah mereka
mengangkat salah di antaranya sebagai ketua rombongan.” [HR. Abu Daud
no. 2609. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih].
10. Dianjurkan bepergian pada hari Kamis.
Dari Ka’ab bin Malik, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – خَرَجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ فِى
غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَكَانَ يُحِبُّ أَنْ يَخْرُجَ يَوْمَ الْخَمِيسِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menuju perang Tabuk pada
hari Kamis. Dan telah menjadi kebiasaan beliau untuk bepergian pada hari
Kamis.” [HR. Bukhari no. 2950].
11. Melakukan perjalanan pada malam hari.
Waktu terbaik untuk melakukan safar adalah di waktu duljah. Sebagian
ulama mengatakan bahwa duljah bermakna awal malam. Ada pula yang
mengatakan seluruh malam karena melihat kelanjutan hadits. Jadi dapat
kita maknakan bahwa perjalanan di waktu duljah adalah perjalanan di
malam hari [Lihat ‘Aunul Ma’bud, Muhammad Syamsul Haq Abu Ath Thoyib,
Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut, cetakan kedua, 1415 H, 7/171].
Perjalanan di waktu malam itu sangatlah baik karena ketika itu jarak
bumi seolah-olah didekatkan. Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالدُّلْجَةِ فَإِنَّ الأَرْضَ تُطْوَى بِاللَّيْلِ
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena
seolah-olah bumi itu terlipat ketika itu.” [HR. Abu Daud no. 2571, Al
Hakim dalam Al Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro
5/256. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no. 681].
12. Melaksanakan shalat 2 rakaat sebelum pergi dan tatkala pulang (atau mau masuk rumah).
Sebagaimana terdapat hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا خَرَجْتَ مِنْ مَنْزِلِكَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ
مِنْ مَخْرَجِ السُّوْءِ وَإِذَا دَخَلْتَ إِلَى مَنْزِلِكَ فَصَلِّ
رَكْعَتَيْنِ يَمْنَعَانِكَ مِنْ مَدْخَلِ السُّوْءِ
“Jika engkau keluar dari rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at
yang dengan ini akan menghalangimu dari kejelekan yang berada di luar
rumah. Jika engkau memasuki rumahmu, maka lakukanlah shalat dua raka’at
yang akan menghalangimu dari kejelekan yang masuk ke dalam rumah.” [HR.
Al Bazzar, hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shohihah no. 1323].
13. Berpamitan ketika mau pergi kepada orang yang ditinggalkan.
Do’a yang biasa diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang hendak bersafar adalah,
أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
“Astawdi’ullaha diinaka, wa amaanataka, wa khowaatiima ‘amalik (Aku
menitipkan agamamu, amanahmu, dan perbuatan terakhirmu kepada
Allah)” [HR. Abu Daud no. 2600, Tirmidzi no. 3443 dan Ibnu Majah no.
2826. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As
Silsilah Ash Shahihah no. 14 dan 15.].
14. Mendoakan keluarga atau kerabat yang ditinggalkan.
Hendaklah musafir atau yang berpergian mengatakan kepada orang yang ditinggalkan,
أَسْتَوْدِعُكَ اللَّهَ الَّذِى لاَ تَضِيعُ وَدَائِعُهُ
“Astawdi’ukallaha alladzi laa tadhi’u wa daa-i’ahu (Aku menitipkan
kalian pada Allah yang tidak mungkin menyia-nyiakan titipannya).” [HR.
Ibnu Majah no. 2825. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih].
15. Membaca doa ketika keluar dari rumah.
Ketika keluar rumah dianjurkan membaca do’a:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ
“Bismillahi tawakkaltu ‘alallah laa hawla wa laa quwwata illa billah”
(Dengan nama Allah, aku bertawakkal kepada-Nya, tidak ada daya dan
kekuatan kecuali dengan-Nya). [HR. Abu Daud no. 5095 dan Tirmidzi no.
3426, dari Anas bin Malik. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini
shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 1605].
16. Membaca doa naik kendaraan.
Ketika menaikkan kaki di atas kendaraan hendaklah seorang musafir
membaca, “Bismillah, bismillah, bismillah”. Ketika sudah berada di atas
kendaraan, hendaknya mengucapkan, “Alhamdulillah”. Lalu membaca,
سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqriniin.
Wa inna ilaa robbina lamun-qolibuun” (Maha Suci Allah yang telah
menundukkan semua ini bagi kami padahal kami sebelumnya tidak mampu
menguasainya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami).
Kemudian mengucapkan, “Alhamdulillah, alhamdulillah, alhamdulillah”.
Lalu mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.”
Setelah
itu membaca,
سُبْحَانَكَ إِنِّى قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِى فَاغْفِرْ لِى فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ
“Subhaanaka inni qod zholamtu nafsii, faghfirlii fa-innahu laa
yaghfirudz dzunuuba illa anta” (Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku telah
menzholimi diriku sendiri, maka ampunilah aku karena tidak ada yang
mengampuni dosa-dosa selain Engkau).[HR. At Tirmidzi no. 3446, dari ‘Ali
bin Abi Thalib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.]
17. Membaca doa safar atau bepergian.
Jika sudah berada di atas kendaraan untuk melakukan perjalanan,
hendaklah mengucapkan, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar.”
Setelah itu membaca,
سُبْحَانَ الَّذِى سَخَّرَ لَنَا هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِينَ
وَإِنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُونَ اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِى
سَفَرِنَا هَذَا الْبِرَّ وَالتَّقْوَى وَمِنَ الْعَمَلِ مَا تَرْضَى
اللَّهُمَّ هَوِّنْ عَلَيْنَا سَفَرَنَا هَذَا وَاطْوِ عَنَّا بُعْدَهُ
اللَّهُمَّ أَنْتَ الصَّاحِبُ فِى السَّفَرِ وَالْخَلِيفَةُ فِى الأَهْلِ
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ وَعْثَاءِ السَّفَرِ وَكَآبَةِ
الْمَنْظَرِ وَسُوءِ الْمُنْقَلَبِ فِى الْمَالِ وَالأَهْلِ
“Subhanalladzi sakh-khoro lanaa hadza wa maa kunna lahu muqrinin. Wa
inna ila robbina lamun-qolibuun[1]. Allahumma innaa nas’aluka fii
safarinaa hadza al birro wat taqwa wa minal ‘amali ma tardho. Allahumma
hawwin ‘alainaa safaronaa hadza, wathwi ‘anna bu’dahu. Allahumma antash
shoohibu fis safar, wal kholiifatu fil ahli. Allahumma inni a’udzubika
min wa’tsaa-is safari wa ka-aabatil manzhori wa suu-il munqolabi fil
maali wal ahli.” (Mahasuci Allah yang telah menundukkan untuk kami
kendaraan ini, padahal kami sebelumnya tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukannya, dan sesungguhnya hanya kepada Rabb kami, kami akan
kembali. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan, taqwa
dan amal yang Engkau ridhai dalam perjalanan kami ini. Ya Allah
mudahkanlah perjalanan kami ini, dekatkanlah bagi kami jarak yang jauh.
Ya Allah, Engkau adalah rekan dalam perjalanan dan pengganti di tengah
keluarga. Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kesukaran
perjalanan, tempat kembali yang menyedihkan, dan pemandangan yang buruk
pada harta dan keluarga). [HR. Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin
‘Umar].
18. Memperbanyak doa, karena doanya musafir adalah dikabulkan/mustajab.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثُ دَعَوَاتٍ لاَ شَكَّ فِيهِنَّ دَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَالْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ
“Tiga do’a yang tidak diragukan lagi terkabulnya yaitu do’a seorang
musafir, do’a orang yang terzholimi, dan do’a orang tua kepada
anaknya.” [HR. Ahmad 2/434. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa
hadits ini hasan dilihat dari jalur lainnya].
19. Membaca doa ketika singgah di suatu tempat.
Tujuannya agar terhindar dari berbagai macam bahaya dan gangguan.
Dari Khowlah binti Hakim As Sulamiyah, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَزَلَ مَنْزِلاً ثُمَّ قَالَ أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ
التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ. لَمْ يَضُرُّهُ شَىْءٌ حَتَّى
يَرْتَحِلَ مِنْ مَنْزِلِهِ ذَلِكَ
“Barangsiapa yang singgah di suatu tempat kemudian dia mengucapkan,
”A’udzu bi kalimaatillahit taammaati min syarri maa kholaq (Aku
berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan setiap
makhluk)”, maka tidak ada satu pun yang akan membahayakannya sampai dia
pergi dari tempat tersebut.” [HR. Muslim no. 2708].
20. Membaca dzikir pagi petang selama safar.
Allah Ta’ala berfirman:
وَاذْكُر رَّبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعاً وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ
مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُن مِّنَ الْغَافِلِينَ
“Dan sebutlah (nama) Rabbmu dalam hatimu dengan merendahkan diri,
penuh dengan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu
pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.”
[QS. Al-A’raf: 205].
Ibnul Qayim mengatakan,“Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah suatu saat
shalat shubuh. Kemudian (setelah shalat shubuh) beliau duduk sambil
berdzikir kepada Allah Ta’ala hingga pertengahan siang. Kemudian
berpaling padaku dan berkata, ‘Ini adalah kebiasaanku di pagi hari. Jika
aku tidak berdzikir seperti ini, hilanglah kekuatanku’ –atau perkataan
beliau yang semisal ini-.” [Al Wabilush Shoyib min Kalamith Thoyib,
hal.63, Maktabah Syamilah].
21. Berpakaian tebal ketika suhu dingin.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ
“Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada
(bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya
kamu makan.” (QS. An Nahl: 5).
Umar bin Al Khottob radhiyallahu ‘anhu pun pernah memberi wasiat
ketika masuk musim dingin untuk berbekal dengan pakaian-pakaian tebal
karena beliau katakan bahwa musim dingin adalah musuh, begitu cepat
menyerang dan amat sulit untuk keluar.[Lathoif Al Ma’arif, hal. 571].
22. Berwudhu dengan air sedikit (atau berwudhu dengan membasuh masing-masing 1 x atau 2 x).
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu : “Bahwasanya Nabi Shalallahu ‘alaihi
wasallam biasa berwudhu dengan 1 mud (1 genggaman tangan orang Arab
zaman Nabi ) air dan mandi dengan 4 sampai 5 mud air.” [HR: Al Bukhari
no. 201, Muslim no. 325, menurut lafazh Muslim].
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mughaffal bahwa dia pernah mendengar
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Akan ada di kalangan umatku
suatu kaum yang berlebih-lebihan dalam bersuci dan berdoa.” [R: Abu
Dawud (I/24) no.96, dan dishahihkan oleh Al Albani].
23. Berwudhu dalam cuaca yang sangat dingin atau memberatkan.
Disebutkan dalam shahih Muslim dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
أَلاَ أَدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا
وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ. قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ
إِسْبَاغُ الْوُضُوءِ عَلَى الْمَكَارِهِ وَكَثْرَةُ الْخُطَا إِلَى
الْمَسَاجِدِ وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَذَلِكُمُ
الرِّبَاطُ.
“Maukah kalian untuk aku tunjukkan atas sesuatu yang dengannya Allah
menghapus kesalahan-kesalahan dan mengangkat derajat?” Mereka menjawab,
“Tentu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada
sesuatu yang dibenci (seperti keadaan yang sangat dingin pent),
banyaknya langkah kaki ke masjid, dan menunggu shalat berikutnya setelah
shalat. Itulah ribath.” [HR. Muslim no. 251].
24. Tayammum jika tidak ada air.
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya tanah yang suci adalah alat bersuci bagi seorang
muslim sekalipun dia tidak mendapatkan air sepuluh tahun.” [HR. Nasa’i
(321), Tirmidzi (124), Abu Dawud (332), Ahmad (5/160). Tirmidzi berkata,
“Hadits hasan shahih.”].
25. Mengusap khuf atau sepatu ketika berwudhu.
Dan dari Shafwan bin Asad berkata,
“Artinya : Adalah Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam menyuruh kami apabila kami musafir supaya tidak
melepas khuf-khuf kami selama tiga hari tiga malam, kecuali disebabkan
jenabat (junub). Akan tetapi (tidak harus dilepas kalau) dikarenakan
buang air besar, kencing dan tidur” [Hadits Riwayat Nasa’i dan Tirmidzi.
Hadits diatas yang terdpat dalam lafal Tirmidzi. Ibnu Khuzaimah juga
meriwayatkan hadits ini, dan sekaligus menilainya shahih].
26. Menentukan arah kiblat untuk shalat.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنْتُمْ فَوَلُّوا وُجُوهَكُمْ شَطْرَهُ
“Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya.” (QS. Al Baqarah: 144)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda kepada orang jelek shalat (musi’ salatahu),
إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ
“Jika engkau hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhumu
lalu menghadaplah ke kiblat, kemudian bertakbirlah.” [HR. Bukhari no.
6251 dan Muslim no. 912].
27. Berdoa ketika menjelang shubuh.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar dan bertemu dengan waktu sahur, beliau mengucapkan,
سَمَّعَ سَامِعٌ بِحَمْدِ اللَّهِ وَحُسْنِ بَلاَئِهِ عَلَيْنَا
رَبَّنَا صَاحِبْنَا وَأَفْضِلْ عَلَيْنَا عَائِذًا بِاللَّهِ مِنَ
النَّارِ
“Samma’a saami’un bi hamdillahi wa husni balaa-ihi ‘alainaa. Robbanaa
shohibnaa wa afdhil ‘alainaa ‘aa-idzan billahi minan naar (Semoga ada
yang memperdengarkan pujian kami kepada Allah atas nikmat dan cobaan-Nya
yang baik bagi kami. Wahai Rabb kami, peliharalah kami dan berilah
karunia kepada kami dengan berlindung kepada Allah dari api
neraka).”[HR. Muslim no. 2718].
28. Bisa menyaksikan fajar shadiq dan menentukan waktu shalat.
Allah ta’ala berfirman :
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap
malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya salat shubuh itu
disaksikan (oleh malaikat)” [QS. Al-Israa’ : 78].
حديث جبريل ثُمَّ أَتَاهُ حِينَ امْتَدَّ الْفَجْرُ وَأَصْبَحَ
وَالنُّجُومُ بَادِيَةٌ مُشْتَبِكَةٌ فَصَنَعَ كَمَا صَنَعَ بِالْأَمْسِ
فَصَلَّى الْغَدَاةَ (رواه النسائي: 513)ـ
Hadits Jibril (tentang waktu sholat): “…kemudian Jibril mendatangi
beliau (di hari kedua) ketika fajar memanjang, dan bintang-bintang masih
jelas dan bercampur, lalu ia melakukan apa yang dilakukannya kemarin,
kemudian sholat shubuh. [HR. Nasa’i, dishohihkan oleh Albani].
29. Shalat fardhu dengan jama’ dan qashar.
Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
فُرِضَتِ الصَّلاَةُ رَكْعَتَيْنِ رَكْعَتَيْنِ فِى الْحَضَرِ
وَالسَّفَرِ فَأُقِرَّتْ صَلاَةُ السَّفَرِ وَزِيدَ فِى صَلاَةِ الْحَضَرِ.
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar
dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih
berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak
bersafar.” [HR. Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685].
Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يَجْمَعُ بَيْنَ صَلاَةِ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ فِى السَّفَرِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika safar”[HR. Bukhari no. 1108].
30. Shalat dengan berjama’ah.
Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah
memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila
ada 'udzur.”[Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir,
hal. 107].
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Apabila musafir
berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun
jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan
tetapi hendaknya dia shalat secara berjama’ah bersama jama’ah di negeri
tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka’atnya (tidak mengqoshor).
Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu
shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia
mengqoshor shalat yang empat raka’at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua
raka’at.”[Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’, 12/243].
31. Shalat diatas kendaraan ketika dalam perjalanan.
Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يُصَلِّى عَلَى
رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ ، فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيضَةَ نَزَلَ
فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat
sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika
ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan
menghadap kiblat.”[HR. Bukhari no. 400].
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau
kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat
dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh
melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,
- Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir
melaksanakan shalat di atas kendaraan.[Lihat pembahasan shalat di mobil
dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 2186
32. Shalat witir dan Shalat Sunnah Shubuh (qabliyah shubuh) selama safar.
Shalat witir adalah sunnah yang ditekankan sekali. Oleh sebab itu
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan
shalat sunnah witir dengan sunnah Shubuh ketika bermukim atau ketika
bepergian. [Lihat Zaadul Ma’aad, I : 315 dan Al-Mughni, III : 196, dan
II : 240].
33. Mengucapkan takbir ketika mendaki.
عَنْ جَابِرٍ بْنِ عَبْدَ الله رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا إذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا وَ إذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
Dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,”Kami
bertakbir, jika menaiki (tempat yang tinggi), dan bertasbih manakala
kami menuruni lembah.” [HR Al Bukhari. Syaikh Salim bin Id Al Hilali
berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari (6/135-Fathul Bari).” Lihat Bahjatun
Nazhirin (2/214)].
34. Mengucapkan Tasbih ketika jalan menurun.
Dalilnya sudah disebutkan sebelumnya.
35. Berdzikir ketika melihat kebesaran Allah.
Karena di gunung banyak sekali kami melihat kebesaran Allah yang
belum pernah kami lihat sebelumnya atau tidak kami lihat di tempat
tinggal kami.
Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah seorang
musafir di dalam perjalanannya berkhalwat dengan Allah dan berdzikir
kepada-Nya, melainkan ia akan disertai oleh Malaikat dan tidaklah ia
mengisi perjalannya dengan syair dan sebagainya, melainkan syaithan akan
menyertainya.” [HR: Ath Thabrani dalam kitab al Kabir 895/17.Lihat
Shahihul Jami 5706].
Lafazh “Subhanallah” dapat kita ucapkan ketika kita sedang takjub
dengan kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala [HR. Bukhari].
Lafadz “Allahu Akbar” juga sunnah diucapkan ketika melihat sesuatu
yang menakjubkan dari ciptaan Allah [HR. Bukhari dalam al-Fath].
Seorang yang terkejut disunnahkan untuk mengucapkan lafadz “Laa ilah
illallah”. [HR. Bukhari dalam Fathul Baari VI/181 dan Muslim IV/22208].
Lafadz “Masya Allah” bisa diucapkan ketika kita takjub melihat
kelebihan yang dimiliki oleh orang lain, baik berupa harta, kondisi
fisik atau yang lainnya. Dalam surat Al Kahfi, terdapat tambahan, “Masya
Allah laa quwwata illa billah”
36. Olahraga agar tubuh kuat dan sehat.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada
mukmin yang lemah dan keduanya memiliki kebaikkan.” [Shahih Muslim,
kitab al Qadar, bab al Iimaan bin Qadar wa idzan lahu no. 2664.
Dikeluarkan juga pada Sunan Ibni Majah, al Muqaddimah, bab fil Iimaan
no. 79].
37. Memperbanyak jalan kaki.
Dalam keseharian, bila perjalanan jarak pendek, Rasulullah selalu
berjalan kaki, yaitu dari rumah ke masjid, dari masjid ke pasar dan dari
pasar ke rumah-rumah sahabat.
Bahkan beliau berjalan kaki ketika
mengunjungi makam pahlawan di Baqi sekitar tiga kilometer dari pusat
kota Madinah, baik pada waktu terik matahari maupun malam.
Beliau tidak
suka hidup manja. Sebab ketika berjalan kaki keringat mengalir di sekjur
badan, pori-pori kulit terbuka dan peredaran darah berjalan nomal
sehingga terhindar dari penyakit jantung. Ingatlah mencegah itu lebih
baik daripada mengobati.
Ulama salaf mengajarkan, “Seseorang hendaknya menjaga tiga hal pada
dirinya: Jangan sampai tidak berjalan kaki, agar jika suatu saat harus
melakukannya tidak akan mengalami kesulitan; Jangan sampai tidak makan,
agar usus tidak menyempit; dan jangan sampai meninggalkan hubungan seks,
karena air sumur saja bila tidak digunakan akan kering sendiri. [Ath
Thib An Nabawi, Ibnu Qayyim Al Jauziyah].
38. Beristirahat di tengah jalan.
Rasulullah ShallallaHu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian
tengah melintas tanah yang subur, maka berilah bagian kepada unta
tunggangan untuk makan dari rerumputan…”
39. Berkumpul ketika singgah dan istirahat.
Dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani Radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata,”Dahulu, jika para sahabat singgah di suatu tempat, mereka
berpencar di bukit-bukit dan lembah-lembah. Maka Rasulullah
bersabda,’Sesungguhnya berpencarnya kalian ke bukit-bukit dan
lembah-lembah merupakan kehinaan bagi kalian (dan itu berasal) dari
syethan’. Maka setelah kejadian itu, mereka tidak singgah di suatu
tempat, kecuali mereka bergabung satu sama lainnya.”[Hadits shahih,
dikeluarkan oleh Abu Dawud (2.627), Ahmad (4/193), Al Hakim (2/115), Al
Baihaqi (6/152), Ibnu Majah (2.690)].
40. Membuat kemah yang jauh dari jalanan.
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى
الله عليه و سلم إذَا سَافَرْتُمْ فِيْ الخِصْبِ فَأعْطُوْا الإبِلَ
حَظَّهُ مِنَ الأرْضِ ، وَ إذَا سَافَرْتُمْ في الجَدْبِ فَأسْرِعُواْ
عَلَيْهَا السَّيْرَ وَ بَادِرُوا بِهَا نِقْيَهَا وَ إذَا عَرَّسْتُمْ
فَاجْتَنِبُوْا الطَّرِيْقَ فَإنَّهَا طُرُقَ الدَّوَابِ وَ مَأوَى
الهَوَامِّ بِاللَّيْلِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
”Jika kalian bepergian dan
melewati daerah padang rumput, maka berikanlah unta haknya dari (rumput
yang tumbuh di) tanah tersebut. Dan jika kalian melewati daerah tandus,
maka percepatlah langkah kalian. Dan jika kalian hendak bermalam, maka
janganlah bermalam di jalan, karena ia merupakan tempat lewat hewan dan
tempat tinggal serangga pada malam hari.” [HR Muslim. Syaikh Salim bin Id
Al Hilali berkata,”Dikeluarkan oleh Muslim (1927).” Lihat Bahjatun
Nazhirin (2/203)].
41. Saling bekerja sama dan membantu antara sesama pendaki.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
”Barangsiapa yang
memiliki kelebihan tempat, hendaklah ia menyilahkannya bagi orang yang
tidak mempunyai tempat. Barangsiapa yang memiliki kelebihan bekal,
hendaklah ia menyilahkan kepada orang yang tidak memiliki bekal.” [HR:
Muslim, 1728, dari Abu Sa'id radhiyallahu anhu].
42. Membaca doa-doa atau dzikir ketika hendak tidur dan setelah bangun tidur.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,
وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ
رَمَضَانَ ، فَأَتَانِى آتٍ ، فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ ،
فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله
عليه وسلم –. فَذَكَرَ الْحَدِيثَ فَقَالَ إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ
فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ
، وَلاَ يَقْرَبُكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ . فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى
الله عليه وسلم – « صَدَقَكَ وَهْوَ كَذُوبٌ ، ذَاكَ شَيْطَانٌ »
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menugaskan aku menjaga harta
zakat Ramadhan kemudian ada orang yang datang mencuri makanan namun aku
merebutnya kembali, lalu aku katakan, “Aku pasti akan mengadukan kamu
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam“. Lalu Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu menceritakan suatu hadits berkenaan masalah ini.
Selanjutnya orang yang datang kepadanya tadi berkata, “Jika kamu hendak
berbaring di atas tempat tidurmu, bacalah ayat Al Kursi karena dengannya
kamu selalu dijaga oleh Allah Ta’ala dan syetan tidak akan dapat
mendekatimu sampai pagi“. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, “Benar apa yang dikatakannya padahal dia itu pendusta. Dia itu
syetan“. [HR. Bukhari no. 3275].
43. Makan secara berjama’ah/bersama-sama.
Dari Wahsyi bin Harb dari bapaknya dari kakeknya, “Sesungguhnya para
sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengadu, wahai
Rasulullah sesungguhnya kami makan namun tidak merasa kenyang. Nabi
bersabda, “Mungkin kalian makan sendiri-sendiri?” “Betul”, kata para
sahabat. Nabi lantas bersabda, “Makanlah bersama-sama dan sebutlah nama
Allah sebelumnya tentu makanan tersebut akan diberkahi.” [HR Abu Dawud
no. 3764 dan dinilai shahih oleh al-Albani].
44. Tidak mengeluh dan putus asa selama dalam perjalanan.
Dalam Shahih al Bukhari, dari Anas Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ عَدْوَى وَلاَ طِيَرَةَ وَيُعْجِبُنِي الْفَأْلُ الْكَلِمَةُ الْحَسَنَةُ
Tidak ada penyakit yang menular sendiri, dan tidak ada kesialan.
Optimisme (yaitu) kata-kata yang baik membuatku kagum.[HR al Bukhari
(10/181) dan Muslim (2224)].
Al-Hulaimi rahimahullah mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam suka dengan optimisme, karena pesimis merupakan cermin
persangkaan buruk kepada Allah tanpa alasan yang jelas. Optimisme
diperintahkan dan merupakan wujud persangkaan yang baik. Seorang mukmin
diperintahkan untuk berprasangka baik kepada Allah dalam setiap
kondisi”.[Fathu al Bari (10/226)].
45. Menjaga kebersihan selama perjalanan.
Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah
Maha Indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah menolak
kebenaran dan merendahkan orang lain” [HR Muslim (no. 91)].
46. Mengucapkan salam jika saling bertemu.
Dari Abdullah bin Amr -radhiallahu anhu- dia berkata: Ada seseorang
yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Islam apakah
yang paling baik?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab:
تُطْعِمُ الطَّعَامَ وَتَقْرَأُ السَّلَامَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
“Kamu memberi makan, mengucapkan salam kepada orang yang kamu kenal
dan yang tidak kamu kenal”. [HR. Al-Bukhari no. 11, 27 dan Muslim no.
39].
47. Menyingkirkan rintangan di jalan sesuai dengan kemampuan.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
كُلُّ سُلاَمَى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ
فِيْهِ الشَّمْسُ، تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ، وَتُعِيْنُ
الرَّجُلَ فِي دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا أَوْ تَرْفَعُ لَهُ
عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ،
وَبِكُلِّ خُطْوَةٍ تََمْشِيْهَا إِلَى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ، وَتُمِيْطُ
الأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ
“Setiap persendian manusia diwajibkan untuk bersedakah setiap harinya
mulai matahari terbit. Memisahkan (menyelesaikan perkara) antara dua
orang (yang berselisih) adalah sedekah. Menolong seseorang naik ke atas
kendaraannya atau mengangkat barang-barangnya ke atas kendaraannya
adalah sedekah. Berkata yang baik juga termasuk sedekah. Begitu pula
setiap langkah berjalan untuk menunaikan shalat adalah sedekah. Serta
menyingkirkan suatu rintangan dari jalan adalah shadaqah ”. [HR. Bukhari
dan Muslim].
48. Saling memberi nasehat atau beramar ma’ruf nahi munkar
selama perjalanan, seperti mengajak teman kita untuk shalat atau
melarang merokok, dsb.
Allah Ta’ala berfirman,
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman
kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110)
Sebagian ulama salaf mengatakan, “Mereka bisa menjadi umat terbaik
jika mereka memenuhi syarat (yang disebutkan dalam ayat di atas). Siapa
saja yang tidak memenuhi syarat di atas, maka dia bukanlah umat
terbaik.”
49. Membawa hadiah ketika pulang.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dan Nabi Shallallahu alaihi wa
sallam bersabda: “Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling
mencinta”. [HR Bukhari dalam Adabul Mufrad, no. 594. Ibnu Hajar
berkata,”Sanadnya shahih”].
50. Bersegera pulang jika urusan telah selesai.
عَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه أنَّ رَسُوْلَ الله صلى الله عليه و
سلم قال: السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنَ العَذَابِ يَمْنَعُ أحَدَكُمْ
طَعَامَهُ وَ شَرَابَهُ وَ نَوْمَهُ فَإذَا قَضَى أحَدُكُمْ نَهْمَتَهُ
مِنْ سَفَرِهِ فَليُعَجِّلِ إلى أهْلِهِ
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, sesungguhnya Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Safar (perjalanan) adalah bagian
dari adzab yang mencegah salah seorang kalian dari makan, minum dan
tidur. Maka bila salah seorang kalian telah mencapai maksud dari
perjalanannya, hendaklah segera kembali kepada keluarganya.” [Mutaffaqun
‘alaih, dan Syaikh Salim berkata,”Dikeluarkan oleh Bukhari
(3/262-Fathul Bari) dan Muslim (1.927).” Lihat Bahjatun Nazhirin
(2/220)].
51. Memberi kabar ketika hendak pulang kepada orang yang ditinggalkan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Pelan-pelanlah,
jangan tergesa-gesa (untuk masuk ke rumah kalian) hingga kalian masuk di
waktu malam –yakni waktu Isya’– agar para istri yang ditinggalkan
sempat menyisir rambutnya yang acak-acakan/kusut dan sempat beristihdad
(mencukur rambut kemaluan). ” [HR. Al-Bukhari no. 5245 dan Muslim].
52. Menghindari pulang malam-malam ketika sampai rumah.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَطْرُقَ أَهْلَهُ لَيْلاً
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang untuk pulang
dari bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari.”[HR. Bukhari
no. 1801].
Dari Anas bin Malik, beliau mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ لاَ يَطْرُقُ أَهْلَهُ لَيْلاً وَكَانَ يَأْتِيهِمْ غُدْوَةً أَوْ عَشِيَّةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa tidak pulang dari
bepergian lalu menemui keluarganya pada malam hari. Beliau biasanya
datang dari bepergian pada pagi atau sore hari.”[HR. Bukhari no. 1800
dan Muslim no. 1928].
53. Membaca doa ketika kembali dari safar.
Do’a ketika kembali dari safar sama dengan do’a ketika hendak pergi safar. Dan ditambahkan membaca,
آيِبُونَ تَائِبُونَ عَابِدُونَ لِرَبِّنَا حَامِدُونَ
“Aayibuuna taa-ibuuna ‘aabiduun. Lirobbinaa haamiduun (Kami kembali
dengan bertaubat, tetap beribadah dan selalu memuji Rabb kami).”[HR.
Muslim no. 1342, dari ‘Abdullah bin ‘Umar].
54. Shalat dua rakaat di masjid ketika tiba dari safar.
Dari Ka’ab, beliau mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ
سَفَرٍ ضُحًى دَخَلَ الْمَسْجِدَ ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ
يَجْلِسَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tiba dari safar pada waktu
Dhuha, beliau memasuki masjid kemudian beliau melaksanakan shalat dua
raka’at sebelum beliau duduk.”[HR. Bukhari no. 3088].
Dari Jabir bin ‘Abdillah, beliau mengatakan, “Aku pernah bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safar. Tatkala kami tiba di
Madinah, beliau mengatakan padaku,
ادْخُلِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Masukilah masjid dan lakukanlah shalat dua raka’at.” [HR. Bukhari no. 3087].
55. Saling berpelukan ketika tiba dari safar.
Aisyah berkata: “Zaid bin Haritsah baru tiba dari Madinah dan
Rasulullah sedang berada dalam rumahku. Dia datang dan mengetuk pintu,
mendengar itu rasulullah bangkit dengan segera sambil mengangkat
bajunya. Beliau memeluknya dan menciumnya. [HR.Tirmidzi : 2732].
Asy-Sya’bi berkata: “Adalah para sahabat rasulullah apabila tiba dari safar mereka saling berpelukan”.
Penulis : Abu Fahd Negara Tauhid
Penyunting : Dimas Putra Ramadhan
Referensi:
- “Riyadhus Shalihin”, oleh Imam An Nawawi.
- “Ath Thib An Nabawi”, Ibnu Qayyim Al Jauziyah.
- “Ensiklopedi Adab Islami”, oleh Abdul Aziz bin Fathi as Sayyid Nada. Penerbit Pustaka Imam Syafi’i.
- “Serial Mudik”, oleh Muhammad Abduh Tuasikal.
- “Pedoman Safar”, oleh Syaikh Sa’id bin Ali Wahf al Qahthani, Syaikh
Abdul Aziz bin Baz, dan Azhari Ahmad Mahmud, diterbitkan oleh Pustaka
Ibnu Umar, cetakan pertama tahun 2010.
- “Kesalahan-kesalahan ketika mendaki gunung menurut syariat”, oleh Abu Fahd Negara Tauhid.
- “Ibadah di musim dingin”, oleh Muhammad Abduh Tuasikal.
- “FIQIH WUDHU BAB WUDHU”, Oleh Syaikh Abdul Aziz Muhammad As-Salman.
- “Waktu-Waktu Shalat Wajib dalam Sehari dan Semalam”, oleh Abu Al-Jauzaa.
- “Lafadz-Lafadz yang Ringan di Lidah”, oleh Ummu Ziyad.
- “Hiburan Bagi Orang Sakit”, karya Abdullah bin Ali Al-Ju’aitsin
(penerjemah: Kathur Suhardi), penerbit: Pustaka Al-Kautsar cet. Kelima,
November 1999, hal. 181-183.
- “Pendakian gunung gede jawa barat”, oleh Abu Fahd Negara tauhid.
- “Pendakian gunung gede 9-juli-2011″, oleh Abu Fahd negara tauhid.
- http://gispala.wordpress.com
- http://gizanherbal.wordpress.com
- http://muslim.or.id
- http://rumaysho.com
- http://almanhaj.or.id
- http://abul-jauzaa.blogspot.com
- http://muslimah.or.id
- http://yaaukhti.wordpress.com
- http://al-atsariyyah.com
Sumber: dzakymoebarak.blogspot
Gambar: gispala.files.wordpress
Baca juga:
7 Tips Sholat Ketika Mendaki Gunung
26 Kesalahan Para Pendaki Menurut Syariat Islam
====================
- Green Campus Outdoor -
" Tempat Penyewaan Alat Outdoor / Hiking / Camping Murah di Jakarta Timur"
Gambar: gispala.files.wordpress
Baca juga:
7 Tips Sholat Ketika Mendaki Gunung
26 Kesalahan Para Pendaki Menurut Syariat Islam
====================
- Green Campus Outdoor -
" Tempat Penyewaan Alat Outdoor / Hiking / Camping Murah di Jakarta Timur"
3 komentar
Write komentar11. Melakukan perjalanan pada malam hari???kayanya harus dipahami benar maksud perjalanan malam hari..etikanya kalau mau naek gunung tidak boleh mendaki malam hari...
Replysaya pernah mendaki siang ataupun malam hari, terasa sekali bedanya.
Replyketika nanjak siang hari rasanya badan cpt lelah dan waktu perjalanan jadi lebih lama, kalau nanjak malem lebih enak, rasanya ndak gampang capek. tapi kako dari sisi keamanan masih menang perjalanan siang, karena jalan lebih kelihatan. #CMIIW
mungkin maksud anda mendaki malam hari melalui jalur resmi yg sudah terlihat jelas jalurnya. beda ceritanya kalo harus buka jalur, & navigasi. hhe :)
Reply